Konflik Israel-Palestina yang telah berlangsung lama diperparah oleh serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 silam. Dengan meningkatnya jumlah korban jiwa, konflik tersebut terus menjadi perbincangan yang semakin intens. Jurnalis Piers Morgan membahas konflik tersebut secara menarik melalui wawancaranya dengan Bassem Youssef, sehingga wawancara eksklusif tersebut menjadi perhatian banyak orang. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bahasa yang digunakan oleh Morgan dalam wawancaranya, dengan fokus pada pilihan leksikal dan strategi diskursifnya. Penelitian ini menggunakan kerangka Appraisal Theory dan Positive Discourse Analysis untuk menganalisis bagaimana sikap yang ditunjukkan Piers Morgan membentuk persepsi publik dan memengaruhi penyelesaian konflik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, meskipun Morgan berupaya mendiskusikan solusi konflik secara mendalam dan konstruktif melalui sikap positifnya, wacana yang digunakannya tetap menunjukkan bias dan cenderung memihak Israel. Di sisi lain, Piers Morgan dalam wawancaranya secara negatif tidak memanusiakan Hamas. Penelitian ini menyoroti hubungan kompleks antara wacana media dan dinamika konflik. Hal ini menegaskan pentingnya mengkaji secara kritis bagaimana jurnalis membentuk persepsi publik dan berkontribusi terhadap dinamika konflik yang sedang berlangsung melalui penggunaan bahasa mereka, meskipun mereka mengklaim bersikap netral.

---

The longstanding Israel-Palestine conflict was aggravated by Hamas’ attack on October 7, 2023. With the rising death toll, this issue continues to spark intense discussion. Piers Morgan engagingly covered the conflict through his interview with Bassem Youssef; the exclusive interviews have garnered significant attention. Thus, this research aims to examine the language used by Morgan in his interviews, focusing on his lexical choices and discursive strategy, applying the frameworks of Appraisal Theory and Positive Discourse Analysis (PDA) to analyze how his attitudinal language shapes public perception and influences conflict resolution. The findings show that, although Morgan strives for a nuanced and constructive conflict resolution through his positive stance, his discourse is inherently biased, favoring Israel and negatively dehumanizing Hamas. This research underscores the complex relationship between media discourse and conflict dynamics. It underscores the need to critically examine how journalists can shape public perception and contribute to the ongoing conflict through their language despite claiming neutrality.