Karya ilmiah ini mengkaji terkait efektivitas yurisdiksi pengadilan niaga dalam mengadili perkara antitrust dan monopoli di Indonesia, dengan perbandingan mekanismenya sebelum dan sesudah pemberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020). Penelitian ini mengeksplorasi perubahan yurisdiksi yang diperkenalkan oleh Undang-Undang Cipta Kerja, yang memindahkan kewenangan untuk menangani keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dari pengadilan negeri ke pengadilan niaga. Melalui analisis doktrinal dan komparatif, penelitian ini mengkaji bagaimana perubahan ini memengaruhi efisiensi prosedur, kepastian hukum, dan penegakan hukum persaingan usaha. Selain itu, Penulis juga melakukan wawancara dengan seorang praktisi hukum persaingan usaha. Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan signifikan dalam penanganan hukum acara perkara persaingan usaha, terutama dalam mekanisme keberatan dan waktu penyelesaian perkara. Penelitian ini menyoroti bagaimana keahlian pengadilan niaga telah meningkatkan kualitas putusan, yang lebih sesuai dengan kompleksitas perkara persaingan usaha. Namun, di saat yang bersamaan, perubahan ini memberikan keuntungan bagi KPPU karena beberapa alasan. Beberapa alasan tersebut mencakup pelaku usaha dirugikan karena keterbatasan aksesibilitas pengadilan niaga, meningkatnya biaya litigasi, dan hambatan logistik yang menimbulkan kekhawatiran terhadap keadilan akses hukum. Dengan menganalisis peraturan perundang-undangan yang relevan, putusan pengadilan, dan praktik yang sesuai standar internasional, penelitian ini mengevaluasi implikasi ekonomi dan hukum yang lebih luas dari perubahan yurisdiksi ini. Penulis memberikan rekomendasi untuk mengatasi hambatan dalam implementasi sistem baru, dengan menekankan kebutuhan akan peningkatan sumber daya peradilan, kejelasan prosedur yang lebih baik, dan langkah-langkah untuk memastikan persaingan usaha yang adil.
This thesis investigates the effectiveness of appellate court jurisdiction in adjudicating antitrust and monopoly cases in Indonesia and the comparison of the mechanism before and after the enactment of the Job Creation Omnibus Law (Law Number 11 Year 2020). The research explores the jurisdictional shift introduced by the Omnibus Law, which transferred the authority to hear objections against Indonesian Competition Commission (KPPU) decisions from district courts to commercial courts. Through doctrinal and comparative analysis, this study examines how these changes influence procedural efficiency, legal certainty, and the enforcement of competition law. In addition, The Author also conducted an interview with a competition lawyer. Key findings reveal significant differences in the procedural handling of competition cases, particularly in terms of objection mechanisms and judicial timelines. The study highlights how the expertise of commercial courts has enhanced the quality of verdicts, aligning them more closely with the complex nature of antitrust and monopoly disputes, but at the same time puts KPPU at an advantage due to the following reasons. Business actors are put at a disadvantage due to limited commercial court accessibility, increased litigation costs, and logistical barriers for business actors raise concerns about equitable access to justice. By analyzing relevant legislation, court decisions, and international best practices, the research evaluates the broader economic and legal implications of these jurisdictional changes. Recommendations are proposed to address obstacles in the implementation of the new system, emphasizing the need for expanded judicial resources, enhanced procedural clarity, and measures to ensure fair competition.