Latar belakang: Malnutrisi merupakan komplikasi utama anak dengan penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) akibat gangguan asupan nutrisi dan metabolisme. Kondisi ini ditandai dengan perubahan cadangan energi dan protein tubuh. Penilaian komposisi tubuh, seperti fat mass (FM) dan fat-free mass (FFM), menjadi indikator penting dalam mengevaluasi status nutrisi. Meskipun antropometri sederhana seperti IMT dan LLA sering digunakan, keduanya memiliki keterbatasan dalam menggambarkan perubahan komposisi tubuh secara akurat. Metode seperti BIA dan ADP merupakan referensi standar dalam menilai komposisi tubuh. Hingga saat ini belum ada studi komposisi tubuh di Indonesia yang mengevaluasi hubungannya dengan antropometri sederhana dan asupan nutrisi, serta membandingkan metode BIA dan ADP pada anak dengan PGTA. Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang terhadap 40 anak dengan PGTA, usia 5-18 tahun, yang menjalani dialisis di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Evaluasi status gizi dengan pengukuran antropometri sederhana (berat badan, tinggi badan, IMT, dan lingkar lengan atas), penilaian komposisi tubuh (fat mass dan fat-free mass) menggunakan BIA (Tanita RG 753) dan ADP (BodPod), serta penilaian asupan nutrisi dilakukan dengan metode 3-day food record. Hasil penelitian: Mayoritas subjek berjenis kelamin laki-laki dengan median usia 14 tahun, terdapat55%diantaranyamengalamimalnutrisidan52,5% perawakanpendek(52,5%).Korelasi yang kuat ditemukan pada pengukuran BB, IMT dan LLA terhadap FM (BIA r=0,713-0,769 dan ADP r=0,626-0,680; p<0,001) dan pengukuran BB dan TB terhadap FFM (BIA r=0,878-0,897 dan ADP r=0,888-0,899; p<0,001). Korelasi lebih kuat ditemukan pada pengukuran IMT dan LLA terhadap FMI (BIA r=0,672-0,736 dan ADP r=0,527-0,579; p<0,001) dan BB terhadap FFMI (BIA r=0,633 dan ADP r=0,730; p<0,001). Metode BIA dan ADP menunjukkan korelasi kuat dalam pengukuran FM (r=0,728) dan FFM (r=0,878) dengan p<0,001. Uji kesesuaian antara BIA terhadap ADP menunjukkan rerata perbedaan -1,23 kg dengan LoA-6.34 kg hingga 3.89 kg, sedangkan pada pengukuran FFM didapatkan bias sebesar 2.16 kg dengan LoA -6.02 kg hingga 10.34 kg. Tidak terdapat korelasi pada seluruh asupan nutrisi makronutrien dan mikronutrien dengan FM dan FFM.
Kesimpulan:
Antropometri sederhana menunjukkan korelasi kuat dengan komposisi tubuh yang diukur menggunakan BIA dan ADP pada anak dengan PGTA. Kedua metode memiliki kesesuaian baik, meskipun BIA memberikan estimasi sedikit lebih rendah untuk FM dan lebih tinggi untuk FFM dengan variabilitas yang cukup luas. Antropometri sederhana dapat digunakan sebagai deteksi awal terjadinya malnutrisi pada anak PGTA.
Background: Malnutrition is a major complication in children with end-stage renal disease (ESRD) due to impaired nutritional intake and metabolism, marked by changes in body energy and protein reserves. Body composition assessment, including fat mass (FM) and fat-free mass (FFM), is an important indicator for evaluating nutritional status. Although conventional anthropometric measurements such as BMI and mid-upper arm circumference (MUAC) are commonly used, they have limitations in accurately depicting body composition changes. Methods like bioelectrical impedance analysis (BIA) and air displacement plethysmography (ADP) are reference standards for body composition assessment. To date, no studies in Indonesia have examined the correlation between conventional anthropometry and body composition using BIA and ADP, the correlation and agreement between BIA and ADP in measuring body composition, or the correlation between nutritional intake and body composition as assessed by BIA and ADP in children with ESRD.Methods: This cross-sectional study involved 40 pediatric patients with ESRD aged 6–18 years undergoing dialysis at Cipto Mangunkusumo National Referral Hospital. Nutritional status was evaluated using conventional anthropometry (weight, height, BMI, and MUAC), body composition assessment (FM and FFM) using BIA (Tanita RG 753) and ADP (BodPod), and macronutrient and micronutrient intake assessment (vitamin D, calcium, phosphate) using the 3- day food record method.Results: The majority of the subjects were male, with a median age of 14 years. Of these, 55% were malnourished and 52.5% were stunted. Stronger correlations were observed between weight, BMI, and MUAC measurements with fat mass (FM) (BIA r=0.713–0.769; ADP r=0.626–0.680; p<0.001), as well as between weight and height with fat-free mass (FFM) (BIA r=0.878–0.897; ADP r=0.888–0.899; p<0.001). Similarly, BMI and MUAC showed stronger correlations with fat mass index (FMI) (BIA r=0.672–0.736; ADP r=0.527–0.579; p<0.001), and weight showed stronger correlations with fat-free mass index (FFMI) (BIA r=0.633; ADP r=0.730; p<0.001). Both BIA and ADP exhibited strong correlations for FM (r=0.728) and FFM (r=0.878; p<0.001). Agreement testing revealed a mean difference of -1.23 kg (LoA -6.34 kg to 3.89 kg) for FM, while FFM showed a bias of 2.16 kg (LoA -6.02 kg to 10.34 kg). Weak correlations were found between macronutrient intake and %FM (r=0.320–0.374; p<0.005), while no significant correlations were observed between micronutrient intake (vitamin D, calcium, phosphate) and body composition.Conclusion: Conventional anthropometric measurements strongly correlate with body composition assessed using BIA and ADP in children with ESRD. Both methods show strong correlations and good agreement, though BIA tends to underestimate FM and overestimate FFM with wide variability. Macronutrient and micronutrient intake shows no significant correlations with body composition. While conventional anthropometry can be used as an alternative for early nutritional evaluation.