Tulisan ini menganalisis mengenai pengaturan dan implementasi layanan upaya berhenti merokok di Indonesia dan Inggris. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal dengan model deskriptif. Prevalensi merokok di Indonesia sendiri terdapat sekitar 70,2 juta orang berdasarkan informasi Global Adult Tobacco Survey (GATS) Indonesia Report 2021. Tujuh puluh delapan persen diantaranya telah mengetahui peringatan kesehatan yang terdapat pada bungkus rokok dan sejak 2011 hingga 2021 terdapat peningkatan kesadaran perokok untuk berhenti merokok. Namun, dalam praktiknya diperlukan program yang dapat membantu perokok untuk berhenti mengkonsumsi rokok. Program ini dinamakan layanan upaya berhenti merokok. Program ini berjalan berdasarkan tingkat kesadaran pemerintah dan masyarakat terhadap bahaya dari merokok. Apabila layanan ini dibandingkan antara Indonesia dan Inggris, Inggris sudah lebih lama memiliki pengaturan terkait layanan ini dibandingkan dengan Indonesia. Layanan upaya berhenti merokok di Inggris juga memiliki berbagai opsi layanan yang dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan pasien atau klien yang ingin berhenti merokok, seperti pemberian terapi pengganti nikotin, obat resep dari dokter, dan rokok elektrik. Walau rokok elektrik tidak dapat ditanggung oleh pemerintah Inggris, tetapi pemerintah Inggris telah memberikan pengaturan terkait standarisasi rokok elektrik agar dapat digunakan sebagai upaya berhenti merokok. Hal ini berbeda dengan pemerintah Indonesia yang hanya memberikan layanan konseling berhenti merokok saja, walau sudah ada pengaturan lebih lanjut terkait intervensi farmakologi (terapi dengan obat yang diresepkan oleh dokter), tetapi belum ada pelaksanaannya. Tentunya ini menjadi salah satu kelemahan layanan upaya berhenti merokok yang ada di Indonesia. Hal yang menjadi kelemahan Indonesia dalam layanan ini tentunya diperoleh berdasarkan layanan yang dipraktikkan oleh Inggris sejak lama, sehingga perlu bagi Indonesia untuk mengoptimalisasi layanan upaya berhenti merokok dan membantu mengurangi konsumsi rokok.
This paper analyzes the regulation and implementation of smoking cessation services in Indonesia and the United Kingdom. This paper is structured using a doctrinal research method with an analytical descriptive model that uses qualitative data analysis. The prevalence of smoking in Indonesia is estimated at 70.2 million people based on information from the Global Adult Tobacco Survey (GATS) Indonesia Report 2021. Seventy-eight percent of them are aware of the health warnings on cigarette packs and from 2011 to 2021 there has been an increase in smokers' awareness to quit smoking. However, in today's practice, programs are needed that can help smokers to stop consuming cigarettes. This program is known as the Smoking Cessation Service. The program is based on the awareness of the government and the public about the dangers of smoking. When comparing this service between Indonesia and the UK, the UK has been regulating this service for longer than Indonesia. Smoking cessation services in the UK also have various service options that can be chosen according to the needs of the patient or client who wants to quit smoking, such as the provision of nicotine replacement therapy, prescription drugs from a doctor, and e-cigarettes. Although e-cigarettes are not covered by the UK government, the UK government has provided regulations for the standardization of e-cigarettes so that they can be used as a smoking cessation measure. This is different from the Indonesian government, which only provides smoking cessation counseling services, although there are other regulations related to pharmacological interventions (therapy with medications prescribed by a doctor), but there is no implementation. This is certainly one of the weaknesses of smoking cessation services in Indonesia. Indonesia's weakness in this service is based on the services practiced by the UK for a long time, so it is necessary for Indonesia to optimize smoking cessation services and help reduce cigarette consumption.