Program revitalisasi Waduk Setiabudi Barat dilaksanakan dengan menerapkan collaborative governance. Penerapan collaborative governance ini memiliki peranan dalam pembangunan yang lebih transparan karena melibatkan masyarakat dalam pemecahan masalah. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis proses penerapan collaborative governance yang terjadi dalam program revitalisasi Waduk Setiabudi Barat dengan menggunakan teori dari Ansell dan Gash. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan post positivist. Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data primer dari hasil wawancara mendalam dan data sekunder dari media serta dokumen lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam proses penerapan collaborative governance yang dilakukan dalam program revitalisasi Waduk Setiabudi Barat, terdapat sejarah konflik dalam hal pergantian masa jabatan gubernur DKI Jakarta yang menyebabkan perbedaan penentuan program prioritas sehingga program revitalisasi Waduk Setiabudi Barat sempat terhenti pembahasannya sekitar 2 tahun (dari tahun 2017 hingga tahun 2019), kemudian terdapat keterlibatan banyak pemimpin baik secara formal maupun informal yang telah mendorong jalannya kolaborasi, terdapat beberapa peraturan yang mengatur jalannya kolaborasi, seperti yang tertuang pada Pergub Nomor 31 Tahun 2019 yang menjadi dasar untuk menyelesaikan program revitalisasi waduk secara kolaboratif, serta terdapat proses kolaboratif yang terjadi antara pemerintah provinsi DKI Jakarta, LSM, dan pihak swasta melalui PT. Ambal Aqar yang bertanggung jawab atas pemberian kompensasi KLB (Koefisien Luas Bangunan) sebagai bentuk hubungan collaborative governance yang terjadi dalam program revitalisasi Waduk Setiabudi Barat.

---

Collaborative governance is applied to accomplish the revitalization of the West Setiabudi Reservoir program. The implementation of collaborative governance involves the community in problem-solving and it contributes to being a more transparent in development. This study aims to analyze the process of implementing collaborative governance in revitalization of the West Setiabudi Reservoir program using Ansell and Gash's theory. This study used a post-positivist approach. Primary data from in-depth interview and secondary data from the media and other documents were used to compile the information for the research. The findings revealed that there was a history of conflict during the change in tenure of the governor of DKI Jakarta. Hence, it triggers the differences in program priorities, causing the revitalization of the West Setiabudi Reservoir program to be halted for about 2 years (from 2017 to 2019). Moreover, there is an interaction between many leaders, both formally and informally, who support the collaboration. Furthermore, there are several regulations that regulate the course of collaboration, as stated in Governor Regulation Number 31 of 2019, which is the basis for completing the revitalization of the reservoir program as collaboratively. In addition, there is a collaborative process that occurs between the DKI Jakarta provincial government, NGO, and the private sector represented by PT. Ambal Aqar, which is responsible for delivering KLB compensation (Building Area Coefficient) as part of the collaborative governance relationship that happens in revitalization of the West Setiabudi Reservoir program.