Masyarakat seringkali menuangkan perjanjian ke dalam akta notaris, untuk mendapatkan alat bukti berkekuatan pembuktian sempurna. Pemenuhan syarat sah perjanjian juga perlu diperhatikan, termasuk kesepakatan, yang mungkin tercapai dengan keberadaan cacat kehendak, seperti penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden), dapat menyebabkan batalnya suatu perjanjian. Penyalahgunaan keadaan belum dituangkan secara tertulis dalam hukum positif, namun telah digunakan oleh lembaga peradilan di Indonesia sebagai alasan pembatalan perjanjian. Penelitian ini mengkaji pertanggungjawaban perdata notaris atas pembuatan akta yang mengandung penyalahgunaan keadaan, dan upaya pencegahan penyalahgunaan keadaan oleh notaris. Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 458 K/Pdt/2020, notaris dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta yang mengandung penyalahgunaan keadaan, sedangkan dalam Putusan Nomor 86/PDT/2021/PT MTR notaris tidak dinyatakan terlibat dalam penyalahgunaan keadaan. Penelitan ini bersifat yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder, yang dianalisis secara preskriptif. Analisis dilakukan dengan menggunakan teori terkait penyalahgunaan keadaan dan perbuatan melawan hukum, serta Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris (UUJN). Hasil penelitian menunjukkan bahwa seorang notaris tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban atas adanya penyalahgunaan keadaan di antara para pihak, tetapi notaris yang lalai melaksanakan kewajibannya sesuai UUJN, sehingga secara langsung atau tidak langsung menyebabkan terjadinya penyalahgunaan keadaan dapat dimintakan pertanggungjawaban secara perdata dengan alasan perbuatan melawan hukum. Penyalahgunaan keadaan karena salah satu pihak ceroboh, gegabah dan kekurangan pengalaman atau pengetahuan dapat dicegah dengan pembacaan akta dan penyuluhan hukum tetapi dilakukannya hal tersebut bukan merupakan jaminan tercegahnya penyalahgunaan keadaan jenis lainnya.
People often convey agreements in the form of notarial deeds to obtain evidence with perfect proving power. Fulfilment of terms to validate an agreement has to be met, including consent, which might be achieved with defect, such as abuse of circumstances, and invalidates the agreement as a result. Abuse of circumstances has not been stated in the form of written law, however it has been applied by Indonesian court to invalidate agreements. This research analyses the private liability of a notary regarding notarial deed which contains abuse of circumstances, and how a notary can prevent abuse of circumstances. Supreme Court Verdict Number 458 K/Pdt/2020 declares tthat tort was committed by the notary in the process of creating notarial deed which contains abuse of circumstances. On the other hand, in Mataram High Court Verdict Number 86/PDT/2021/PT MTR the notary was declared not involved in abuse of circumstances. This is a normative legal research utilising secondary data, which is presciptively analysed. Analysis is done using theories regarding abuse of circumstances and tort, as well as Law Number 30 of 2004 which has been amended by Law Number 2 of 2014 on Notary Position. The result shows that a notary cannot be held liable due to the presence of abuse of circumstances, however a notary who is negligent in fulfilling his/her obligations according to UUJN and causes abuse of circumstances can be held liable due to tort. Abuse of circumstances due to carelessness, recklessness and lack of experience or knowledge could be prevented by deed reading and legal counselling, but they do not guarantee the prevention of other kinds of abuse of circumstances.