Kajian ini membahas pandangan dan peran Setiati Surasto terhadap perbaikan nasib buruh perempuan pada tahun 1940an sampai 1960an. Kajian ini bermula dari diskriminasi yang dilakukan oleh perusahaan atau majikan terhadap buruh perempuan karena mereka selalu dianggap sebagai tenaga kerja murah dari masa ke masa. Buruh perempuan dianggap sebagai tenaga kerja yang tidak terampil sehingga dinilai layak untuk dieksploitasi tenaganya. Hal ini mengakibatkan diskriminasi dalam berbagai bentuk mulai dari diskriminasi dalam pemberian upah sampai pelanggaran terhadap hak-hak mereka. Kajian ini dikerjakan dengan metode penelitian sejarah dengan menggunakan sumber primer berupa surat kabar dan majalah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketimpangan kondisi yang dihadapi buruh perempuan melahirkan agensi dan aktivisme perempuan. Termasuk diantaranya adalah Setiati Surasto yang menyuarakan pandangannya mengenai kesetaraan dan kesejahteraan bagi buruh perempuan melalui tulisan hingga aksi secara langsung di lapangan. Kajian ini juga mengisi kekosongan dalam historiografi Indonesia, terutama dengan menghadirkan biografi aktivis buruh perempuan pada periode awal kemerdekaan Indonesia.
This research discusses the views and roles of Setiati Surasto in improving the fate of women labour between the 1940s and 1960s. This study stems from companies’ or employers’ discrimination that always considers female labour as cheap labour from time to time. Women labour were seen as unskilled workers, feasibly exploited and not appreciated. Consequently, women labour experiences discrimination in various forms, ranging from wages to violations of their rights. This study used historical research methods in which newspapers and magazines were primary sources. The findings indicate that the inequality that they experience generates women’s agency and activism. Setiati Surasto was one of the activists who voiced her views on equality and welfare for women labour through writing and direct action. This research has filled the gaps in Indonesian historiography, especially by presenting the biography of a women’s labour activist during the early period of Indonesian independence.