Konflik perebutan kekuasaan dalam Kerajaan Johor pada abad ke-18 ikut menyeret orangorang Bugis yang ada di kawasan tersebut. Keberhasilan menaklukkan Raja Kecik membuat Upu Daeng Bersaudara mendapat jabatan penting dalam Kerajaan Johor sebagai Yang Dipertuan Muda (YDM) dan dinikahkan dengan para bangsawan Melayu serta saudara perempuan sultan. Secara tidak langsung, dua hal ini membuat identitas sebagai orang Bugis perlahan menghilang. Keturunan Bugis yang menikah dengan orang Melayu tidak lagi menyandang nama daeng, melainkan nama raja. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode penelitian sejarah, yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitian ini dianalisis menggunakan pendekatan identitas kultural. Penelitian ini menunjukkan bahwa keturunan Bugis yang hidup dan menetap di Kerajaan Riau Johor sejak abad ke-18 dikenal sebagai Melayu Bugis. Hal tersebut berangkat dari penggunaan nama ‘raja’, yang merupakan satu bentuk identitas kultural baru bagi orang Bugis yang sudah berbaur dengan orang Melayu. Penggunaan nama ‘raja’ dimulai sejak dilibatkannya keturunan Bugis dalam pemerintahan serta pernikahan antara bangsawan Bugis dengan Melayu.
Internal conflict in the struggle for power within the Kingdom of Johor in the 18th century involved the Bugis people in the area. The Upu Daeng Brothers earned the Yang Dipertuan Muda (YDM) in the Kingdom of Johor, married Malay nobles and the sultan's sister after they successfully conquered Raja Kecik. Accordingly, these situations led to the disappearance of Bugis person’s identity. In other words, Bugis descent who marry Malays no longer bear the name Daeng but Raja. The study employed historical research methods applying heuristics, source criticism, interpretation, and historiography, in which the data analysis was from the perspective of the cultural identity approach. This research revealed that the Bugis descent who lived and settled in the Johor Riau Kingdom since the 18th century were known as Bugis Malays. The new identity was due to the title 'raja,' bestowed upon the Bugis who married the Malays. The use of the new title began with the involvement of Bugis descendants in government and marriages between Bugis and Malay aristocrats.