Tujuan penelitian ini adalah mengkaji representasi Babad Pasanggrahan Madusita tentang modernitas dan hedonisme. Modernitas dan hedonisme menjadi gaya hidup elite kerajaan Jawa pada akhir abad XIX hingga awal abad XX. Modernisasi dilakukan di kerajaan tradisional Jawa, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat pada masa Paku Buwana X. Penelitian ini menggunakan metode analisis data kualitatif dengan menggunakan sudut pandang kajian budaya. Permasalahan yang diteliti adalah bagaimana modernitas memberi
ciri pada gaya hidup hedonisme dalam Babad Pasanggrahan Madusita, bentuk representasi, dan makna Babad Pasanggrahan Madusita. Beberapa penelitian terdahulu masih fokus pada aspek lokalitas, nilai-nilai moral, pendidikan, budaya, dan agama dari suatu naskah. Oleh sebab itu, penelitian ini dibuat untuk mengisi kekosongan kajian tentang representasi Babad Pasanggrahan Madusita tentang modernitas dan hedonisme yang dipengaruhi oleh
wacana-wacana hasil interaksi budaya Jawa dan budaya Eropa. Hasil penelitian menunjukkan Babad Pasanggrahan Madusita ditulis saat modernitas menjadi jiwa zaman. Akhir abad XIX, hedonisme menjadi gaya hidup bangsawan istana yang disokong oleh modernisasi. Bentuk representasi naskah tentang modernitas dan hedonisme ditunjukkan melalui narasi perjalanan dan pencatatan aset-aset Pesanggrahan Madusita. Maknanya adalah kemajuan dan kemegahan pada masa Paku Buwana X sebagai “Kaisar Jawa” di era modern.
This research aims to analyse the representation of Babad Pasanggrahan Madusita on modernity and hedonism. The hedonist lifestyle of the royal elite was influenced by modernity in the late nineteenth and early twentieth century. During the Paku Buwana X era, Surakarta Hadiningrat Sultanate carried out modernisation. This study used qualitative data analysis methods using the point of view of cultural studies. The research problems are how modernity characterises the lifestyle of hedonism in Babad Pasanggrahan Madusita, the form of representation, and the meaning of Babad Pasanggrahan Madusita. Several previous studies focused on aspects of a manuscript’s locality, moral values, education, culture, and religion. Therefore, this study has arranged to fill the gap in the study of the representation of modernity and hedonism in manuscripts influenced by discourses resulting from the interaction of Javanese culture and European culture. The results showed that Babad Pasanggrahan Madusita was written when modernity became the zeitgeist. At the end of the nineteenth century, hedonism was the lifestyle of the aristocrats, supported by modernisation. The form of Babad Pasanggrahan Madusita was represented by the narrative of the journey and recording of Pesanggrahan Madusita’s assets. The meaning was related to the progress and splendour during the period of Paku Buwana X as the Emperor of Java in the modern era.