PendahuluanDalam dua puluh tahun terakhir ini fiksi Indonesia menunjukkan gambaran perkembangan yang menarik dan beraneka ragam. Hal itu dinyatakan berdasarkan beberapa gejala yang terlihat pada berbagai segi kehidupan fiksi Indonesia, yang menyangkut segi produksi, distribusi, dan sambutan masyarakat.
Dari segi produksi, menurut Teeuw, sekurang-kurangnya ada tiga gejala yang menampakkan kenyataan baru. Pertama, tersedianya buku-buku fiksi baru di toko-toko buku dalam jumlah yang jauh lebih besar dibanding sebelumnya. Kedua, banyak diantara novel dan kumpulan cerita yang tersedia itu merupakan cetak-ulang atau kumpulan cerita yang ditulis sebelum tahun 1965, bahkan ada yang berasal dari zaman Halal Pustaka atau Pujangga Baru. Contoh untuk itu misalnya Salah Asuhan (Abdul Muis), Layar Terkembang (STA), Belenggu (Armij n Pane), Jalan Tak Ada Ujung (Mochtar Lubi s) , dan Robohnya Surau Kami (Ali Akbar Navis). Ketiga, munculnya pengarang angkatan lama; Sutan Takdir Alisjahbana, Achdiat Karta Mihardja, Mochtar Lubis, Pramudya Ananta Toer, aktif kembali menulis beberapa novel setelah lebih dari dua puluh tahun menghentikan kegiatan.
Perihal perkembangan produksi itu lebih jauh dapat diketahui dari kenyataan-kenyataan yang berkaitan dengan kondisi produksi novel di Indonesia. Kondisi produksi itu ditandai oleh bermacam-macam gejala, seperti meningkatnya gairah penerbitan, terbitnya majalah-majalah wanita, meningkatnya jumlah surat kabar, dan diselenggarakannya berbagai sayembara penulisan cerita fiksi.