ABSTRAKPerang asimetris wajib untuk diwaspadai, karena mempunyai daya hancur yang lebih besar daripada perang fisik yang mengandalkan senjata dan otot. Disebut asimetris karena tidak jelas siapa sesungguhnya musuh kita. Tidak bisa dibandingkan kekuatan lawan yang dihadapi, dan seberapa besar sumber daya 'perang' yang digunakan. Apalagi jika perang asimetris dikaitkan dengan media dan relasi kuasa. Pemegang kekuasaan ekonomi dan politik, baik pemerintah atau organisasi bisnis, akan menggunakan media, bukan hanya untuk propaganda keberhasilan semata, tetapi lebih dari itu untuk mematikan lawan atau kompetitornya, seperti disebut oleh Lynda Lee Kaid dalam "Ethics and Political Advertising" (Denton 2000). Perkembangan teknologi informasi dan munculnya konvergensi media membawa dampak besar terhadap perang asimetris. Kritik Fuchs (2013) menyadarkan kita bahwa dibalik hingar bingar teknologi internet dan social media, ada rezim ideologis besar yang ingin menguasai. Sebagian orang menyebut rezim itu sebagai kapitalisme global, sebagian menyebut sebagai demokrasi liberal. Manusia, selama sejarahnya, adalah korban dan komoditas dari penguasa. Tak terkecuali di Indonesia. Kita bisa lihat perkembangan dunia digital mulai memakan 'korban' dengan munculnya hoax, kasus-kasus cyber-crime, hingga keruntuhan korporasi retail dan ancaman hilangnya berbagai profesi. Papaer ini membahas perang asimetris yang terjadi terutama saat ini di era digital dan dampaknya di Indonesia.