ABSTRAKPenelitian ini menelusuri bagaimana mitos-mitos tentang perempuan
dalam masyarakat patriarkal direproduksi dan disosialisasikan melalui media film,
yang pada akhirnya dapat berpotensi menghasilkan kekerasan simbolik terhadap
perempuan dalam konteks perkawinan poligami. Sebagai sebuah kritik sosial
dalam kerangka paradigma kritis, penelitian ini juga menyoroti praktik poligami
yang dilakukan oleh Soekarno dengan berpihak pada perempuan sebagai korban.
Analisis semiotika Roland Barthes yang digunakan dalam penelitian ini
menunjukkan bahwa pesan dalam teks film Soekarno: Indonesia Merdeka
memiliki hubungan intertekstual dengan mitos yang terkandung dalam teks
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang disahkan pada
era Pemerintahan Orde Baru. Mitos fertilitas perempuan dan mitos ibuisme yang
terkandung dalam kedua teks tersebut, menyebabkan perempuan mengalami
obyektifikasi sekaligus domestifikasi. Dengan memadukan konsep mitos Roland
Barthes, kekerasan simbolik Pierre Bourdieu, dan symbolic annihilation dari
Gerbner dan Tuchman, penelitian ini menunjukkan bahwa film Soekarno:
Indonesia Merdeka dapat menggiring opini penonton dalam hal poligami dengan
cara memperhalus penokohan karakter laki-laki dan sebaliknya menampilkan
karakter perempuan dalam citra negatif mengikuti penggambaran arus utama
ABSTRACTThis study explores how myths about women in a patriarchal society
reproduced and disseminated through the medium of film, which in turn can
potentially generate symbolic violence against women in the context of
polygamous marriages. As a social criticism within the framework of a critical
paradigm, this study also highlights the practice of polygamy by Soekarno and in
favor of women as victims. Roland Barthes semiotic analysis used in this study
indicates that the message in the text of the film Soekarno: Indonesia Merdeka has
intertextual connection with the myth contained in the text of Act No. 1 of 1974
on Marriage passed in the era of the New Order Government. By combining the
concept of myth by Roland Barthes, symbolic violence by Pierre Bourdieu, and
symbolic annihilation by Gerbner and Tuchman, this study shows that film
Soekarno: Indonesia Merdeka can lead the audience?s opinions in terms of
polygamy by its way of refining characterizations of male characters and
otherwise displaying female character in negative image following the mainstream
depictions