ABSTRAKDalam keseharian kota, terdapat ruang formal dan informal. Struktur kota,
termasuk elemen-elemen ruang di dalamnya, memberikan peran dalam
mengidentifikasi hadirnya ruang informal. Ruang informal digambarkan melalui
ruang sisa kota yang timbul dari interaksi elemen dan pengguna ruang kota dalam
keseharian. Aktivitas keseharian ?ngetem? atau ?mangkal? yang dilakukan oleh
komunitas supir bajaj, sebagai salah satu pengguna ruang kota, mempertegas dua
sisi representasi ruang kota, yaitu planner dan users. Upaya mengisi atau
memanfaatkan ruang dilakukan melalui interaksi dan negosiasi ruang sisa di
sekitar stasiun Manggarai. Sehingga, penting untuk memahami hubungan antara
elemen ruang sisa kota dan bagaimana komunitas supir bajaj stasiun Manggarai
memanfaatkan ruang tersebut dengan taktik dan strategi keseharian yang mereka
lakukan. Salah satu penggambaran proses memahami hal ini melalui analogi
?dapur? kota.
ABSTRACTIn everyday life of the city, both formal and informal spaces exist. The structure
of the city, including its physical elements, contributes in identifying informal
space in urban life. Informal space is shown through leftover urban space that
emerges from the interaction of elements and users of urban space in everyday
lifes. 'Ngetem' or 'mangkal' done by the community of bajaj drivers, as one of the
user of urban space, highlights the two sides of urban space representations, which
are planners and users. Their efforts to occupy or utilize space are done through
interaction and negotiation of leftover space around the Manggarai Station area.
Therefore, it is important to understand the connection between the elements
of leftover urban space around Manggarai Station and how the community of
bajaj drivers occupy those spaces using their own tactics and daily strategies. One
of the ways to understand the process of this urban informality's phenomena is by
using the analogy 'kitchen' of the city.