ABSTRAKPenelitian ini membahas mengenai ekspropriasi. Ekspropriasi pada pemegang saham
minoritas (berupa pemegang saham tradable) dapat dikatakan terjadi jika kekayaan
pemegang saham mayoritas (berupa pemegang saham nontradable) meningkat
seiring dengan menurunnya kekayaan pemegang saham tradable. Penelitian
menggunakan teknik regresi berganda. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa
ketika rights issue, perubahan kekayaan pemegang saham nontradable (disimbolkan
‘NTWC = nontradable wealth change’) berkorelasi negatif dengan abnormal return
saham sebagai proksi dari kekayaan pemegang saham tradable, walaupun hasilnya
tidak signifikan (sig. >5%). Kemudian dikatakan bahwa meningkatkan hak voting
pemegang saham nontradable dapat memperburuk ekspropriasi yang dialami
pemegang saham tradable. Penelitian ini menunjukan hasil bahwa besarnya hak
voting yang dimiliki oleh pemegang saham pengendali kedua (SCS) tidak
berpengaruh signifikan terhadap abnormal return saham, yang kemungkinan besar
disebabkan karena adanya perbedaan struktur kepemilikan saham di Cina dengan di
Indonesia.
ABSTRACTThis research examined the expropriation effect; the wealth of minority shareholder
transferred to the majority’s. The expropriation of minority shareholder (mentioned
as tradable shareholder) occurs when the wealth of majority shareholder (mentioned
as nontradable shareholder) increase while the wealth of tradable shareholder is
decreasing. This research is using cross sectional regression method. The result of
this research shows when a company announces rights issue, the wealth change of
nontradable shareholder (NTWC) is negatively correlated with the wealth change of
tradable shareholder although the result is not significant (sig. >5%). And then,
previous researches said that the increase of majority shareholder’s voting rights will
exacerbates expropriation effect. This research shows the large voting rights of
second-controlling shareholder (SCS) not significantly influenced the abnormal
return of stock, the biggest possibility is that is caused by the differences of
ownership structure in China and Indonesia.