Para sufi menafsirkan teks-teks suci dengan kaidah hermeneuik, untuk mencari makna konot erlatif, denotatif, terutama sugestif. Hamzah Fansuri—sufi dan sastrawan besar yang hidup semasa kerajaan Aceh berlimpah materi dan mengalami dekadensi moral, memaknai kata faqr sebagai memerlukan dan kemiskinan. Keduanya khas manusia, sehingga karena kemiskinan manusia perlu Tuhan, dan karena ke Maha-kaya-an-Nya Tuhan merdeka. Faqir adalah orang yang merdeka dari selain Allah. Sebagai maqam tertinggi, faqir berkenaan dengan jiwa yang fana, lenyapnya jiwa yang rendah sebab yang ada hanya cinta ilahi. Faqir berarti hidup zuhud dalam menggumuli, bukan menolak, kehidupan duniawi. Sementara M.Iqbal-Fisuf dan penyair Pakistan yang hidup ketikka peradaban Islam dlam kemunduran, memaknai kata faqr sebagai pribadi yang kuat karena cintanya pada Tuhan dan manusia merdeka, manusia unggul sebab kesadaran intelektualnya yang dalam dan jiwanya hidup. Hamzah Fansuri dan M. Iqbal memberikan makna yang hampir sama pada kata faqr, juga kritik mereka terhadap penyimpangan-penyimpngan agama dan tasawuf. Perbedaannnya, M. Iqbal memberikan takwil baru dan memperluasnya hingga mencakup bukan hanya agama dan tasawuf tetapi juga sosial dan politik, serta dengan jargon modern.