ABSTRAKDualisme dalam hukum pertanahan yang disebabkan adanya
tanah-tanah hak adat dan tanah-tanah hak barat bertentangan
dengan alam pikiran masyarakat Indonesia yang umumnya amat
bersahaja, yang dilandasi oleh kesederhanaan dan kejujuran,
oleh karena itu dengan diundangkannya Undang-undang Pokok
Agraria yang menghapuskan dualisme tersebut yang merupakan
karya dari penguasa zaman penjajahan, dapat dianggap
sebagai anugerah bagi bangsa ini sebab Undang-undang
tersebut didasarkan pada hukum yang hidup dalam masyarakat
yaitu hukum adat. Pejabat Pembuat Akta Tanah oleh peraturan
perundang-undangan ia ditetapkan sebagai Pejabat Umum, yang
mandiri dan tidak berpihak, sehingga Akta-akta yang
dibuatnya adalah akta otentik, yang merupakan alat bukti
yang kuat, sampai dapat dibuktikan sebaliknya, dan akta
yang dibuatnya adalah sumber utama bagi pendaftaran tanah
yang diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional, dalam
hal ini Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten. Pendaftaran tanah
dengan mengunakan sistem publikasi negatif dengan unsur
positif, yang artinya bukti hak atas tanah yang diterbitkan
(sertipikat) atau perubahan data pada sertipikat tersebut yang didasarkan pada akta yang dibuat oleh PPAT, dapat
dibatalkan sepanjang adanya bukti lain yang membuktikan
kebenaran yang sesungguhnya. Putusan badan peradilan yang
membatalkan akta-akta PPAT umumnya disebabkan oleh karena
unsur jual beli menurut hukum adat yang menjadi dasar UUPA,
tidak terpenuhi, sebab itu akta PPAT bukan unsur sahnya
jual beli, unsur sahnya jual beli adalah terang, tunai dan
riil, akta PPAT hanya sumber utama bagi pendaftaran hak
saja.