ABSTRAKPada tanggal 14 Agustus 2 001 telah ditandatangani
suatu perjanjian utang piutang antara PT. X (Persero)
(untuk selanjutnya disebut juga "Debitor") dengan PT. Bank
Y (Persero) (untuk selanjutnya disebut juga "Bank"), yaitu
dengan ditandatanganinya Perjanjian Penerbitan Standby L/C
tertanggal 14 Agustus 2001 nomor 62 dibuat di hadapan "Z",
Sarjana Hukum, Notaris di Jakarta. Bahwa guna melunasi
seluruh hutang Debitor kepada Bank, tentulah Bank meminta
jaminan kepada Debitor. Bahwa oleh karena Debitor adalah
perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa penerbangan,
tentulah pesawat terbang adalah merupakan aset yang sangat
ekonomis dan strategis untuk dijadikan jaminan pelunasan
hutang. Untuk memenuhi hal tersebut, maka perlu dibuat
suatu perjanjian jaminan atas pesawat terbang milik Debitor
yang merupakan perjanjian asesoirnya (fidusia). Tapi
kemudian timbul permasalahan, yaitu: "Mengapa pesawatpesawat
terbang tersebut dijaminkan dengan Akta Jaminan
Fidusia? Mengapa tidak dijaminkan dengan Akta Hipotik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 12 Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 1992? Lalu bagaimana konsekuensinya terhadap
Kreditor selaku penyandang dana? Metode yang digunakan
adalah penelitian kepustakaan, yaitu dengan melihat
dokumen-dokumen resmi yang berkaitan dengan kasus itu,
tentu saja harus dilandasi dengan peraturan perundangundangan
yang berlaku sehingga dapat diperoleh kesimpulan
utama. Karena dengan jaminan hipotek belum ada kepastian
hukumnya, maka para pihak telah sepakat untuk membuat akta
jaminan fidusia, dengan alasan dalam Undang-Undang tentang
Penerbangan dimungkinkan untuk itu. Kantor Pendaftaran
Fidusia menyatakan, berdasarkan ketentuan pasal 3 huruf (c)
dan pasal 1 ayat (4) UU No. 42/1999, pesawat udara tidak
dapat dijadikan obyek jaminan fidusia. Konsekuensinya bagi
kreditur adalah tidak memperoleh hak preferen (hak
didahulukan terhadap kreditor lain), bilamana Debitur lalai
(wanprestasi).