Sejarah filsafat dipenuhi dengan berbagai peristiwa yang melatarbelakangi bagaimana filsafat itu berkembang dan menjadi sebuah bidang yang terdiri dari bentukan segala aspek kehidupan seperti kebudayaan dan lingkup sosial yang sedang beriangsung. Filsafat dengan metodenya yang kritis dan reflektif dapat menjadi panduan dalam menemukan sebuah jalan keluar permasalahan. Namun sebuah jawaban yang diberikan filsafat tidak lagi menjadi sesuatu yang selalu mutlak, atau bukan sebuah warisan pemikiran atas permasalahan yang digunakan secara universal dan selamanya, bukan sebuah ketaatan buts terhadap kebenaran (semu).
Sebagaimana manusia, kebudayaan dan kehidupan sosial yang selalu mengalami perubahan yang terus menerus serta senantiasa dinamis, maka filsafat pun sebagai bagian dari kehidupan manusia harus senantiasa mengikuti tuntutan sosial sebagai wujud konkret dari akal budi manusia dalam menciptakan kehidupan sosial yang lebih baik. Filsafat tidak lagi berada dalam menara gading yang hanya berfungsi sebagai panoptikon untuk mengawasi manusia, melainkan bagaimana filsafat harus turun dan lebih menyentuh kehidupan konkret dalam lingkup sosial yang nyata dan majemuk. Kita tidak dapat membuat sebuah garis besar haluan bagi manusia untuk menemukan kebenaran yang satu, yang baik dan yang benar untuk berlaku bagi seluruh manusia tanpa adanya unsur kritis dan reflektif dari filsafat yang sangat penting namun sering dilupakan demi mengejar sebuah ambisi pencapaian kebenaran yang justru bersifat sementara.
Sebagaimana kita ketahui sebuah kebenaran akan selalu memiliki kaitan dengan unsur kuasa dan kepentingan, sehingga tidak bisa kita terapkan secara membabi buta tanpa daya kritis. Dengan melihat situasi yang majemuk dan plural, maka diperlukan semangat emansipasi dan penghargaan terhadap suara-suara yang selama ini tidak didengar. Oleh karena itu dekonstruksi Derrida melanjuti semangat filsafat yang kritis dan reflektif dari kemapanan filsafat yang dianggap sudah berhenti dan mencapai kepenuhan dalam menjawab permasalahan. Derrida mendekonstruksi tradisi filsafat barat seperti fonologisme dan strukturalisme. Wujud konkret dekonstruksi sendiri lebih menonjolkan sisi etis dan politis di dalam kehidupan sosial, dengan selalu memurnikan dan mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Di dalam dekonstruksi tidak ada sebuah pencapaian kebenaran yang mutlak dalam menciptakan kehidupan yang lebih baik, melainkan akan selalu mengawali proses pemurnian dan terbuka bagi segala peluang dan yang lain.