Penggunaan dialek Jakarta dalam karya sastra bukanlah sesuatu yang baru dalam kesusastraan Indonesia. Sejak karya sastra masih ditulis tangan dalam bentuk naskah, dialek Jakarta sudah dipergunakan oleh beberapa sastrawan yang hidup di Jakarta. Naskah karya sastrawan tersebut masih dapat kita jumpai di Museum Nasional Jakarta saat ini, Sebagai contoh berikut ini saya kutipkan bagian dari Lakon Jaka Sukara yang disunting oleh Dewaki Kramadibrata: Maka sahut Nala Gareng, Sebab bapaku kedua kakang Grubuk tiada bisya' bujuk. Jikalau bapat kedua kakang bisya' bujuk laga-lagain, niscaya dia tiada mengadu. Maka sahut Angliya', Hai Gareng, menga-paka dahulu kamu sendiri tiada mau bujuk-bujuk supaya ia jangan mengadu? Maka sahut si Gareng, Hai kakang, pegimana aku bole bisya membujuk, karna aku masi kebelon perna aku dibujuk ole orang tua-tua abang. Sebab aku masi kecil menangis minta pisang, sampai sore aku menangis, orang tua tiada ambil pusing dan tiada ambil peduli padaku. Hingga aku sengaja, mengira yang pikiranku bapa' datang membujuk aku dari sore sampai pagi, sampai aku berdiam sendiri.